FASE PERSALINAN1,2,3,4 DAN MEKANISME PERSALINAN
Proses persalinan dibagi dalam tiga berdasarkan pertimbangan klinis :
Kala I : Dimulai sejak awal kontraksi dengan frekuensi,intensitas dan durasi yang cukup sehingga menyebabkan penipisan dan pembukaan serviks.
Kala II : kala dua dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (+10 cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi
Kala III : Segera setelah kelahiran bayi dan berakhir dengan kelahiran plasenta dan selaput ketuban
Kala IV : Dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama post partum.
MEKANISME PERSALINAN:
KALA I PERSALINAN
Persalinan dimulai dengan kala I sejak onset persalinan sampai serviks mencapai pembukaaan lengkap,Friedman (1978) dalam teorinya tentang persalinan, menyatakan :
" Gambaran klinis kontraksi uterus, yaitu frekuensi,Intensitas dan lamanya tidak dapat diandalkan sebagai ukuran untuk menilai kemajuan persalinanjuga bukan petunjuk untuk kenormalannya, kecuali dilatasi serviks dan penurunan janin,tidak ada gambaran klinis pasien bersalin yang dapat mejadi ukuran kemajuan persalinan".1,2,4
Pola dilatasi serviks yang terjadi dalam perjalanan persalinan normal mengambil bentuk sigmoid seperti terlihat pada gambar 1,
Kala pertama persalinan dapat dibedakan berdasarkan dua fase dilatasi serviks; fase laten dan fase aktif. Fase laten sejak awal persalinan dengan kontraksi uterus teratur hingga mencapai pembukaan serviks 4 cm. 1,3 Fase aktif dibagi lebih lanjut sebagai fase akselerasi,fase kelandaian maksimum, dan fase deselerasi.Lamanya fase laten lebih variabel dan mudah mengalami perubahan-perubahan yang sensitive akibat faktor-faktor luar dan sedasi (pemanjangan fase laten ) dan perangsangan miometrium (pemendekan masa laten)lamanya fase laten hanya mempunyai hubungan yang sedikit dengan perjalanan persalinan berikutnya. Sedangkan karakteristik fase akselerasi biasanya dapat meramalkan hasil akhir suatu persalinan tertentu. Friedman (1978) menganggap kelandaian maksimum sebagai " ukuran yang baik untuk keseluruhan efisiensi mesin". Sedangkan sifat fase deselerasi lebih mencerminkan hubungan feto-pelvik. Lengkapnya dilatasi serviks pada fase aktif persalinan diakhiri dengan retraksi serviks disekeliling presentasi janin. Setelah dilatasi serviks lengkap, stadium kedua persalianan dimulai: Hanya penurunan presentasi janin yang tinggal untuk menilai kemajuan persalianan.1,2,4
Pola penurunan presentasi janin pada sebagian besar nullipara engagement kapala janin sudah terjadi sebelum mulai persalinan. Selebihnya terjadi pada fase I persalinan.
Pada pola penurunan persalinan normal, terbentuk suatu kurva hiperbola yang tipikal bila station turunnya kepala dipetakan sebagai fungsi dari lamanya persalinan. Penurunan aktif biasanya terjadi setelah dilatasi aktif berjalan selama beberapa waktu. Pada nullipara kecepatan penurunan yang bertambah cepat biasanya ditemukan pada fase kelandaian maksimum dilatasi serviks.Pada waktu ini, kecepatan penurunan meningkat menjadi maksimum, dan kecepatan maksimal panurunan ini dipertahankan sampai bagian presentasi janin mencapai lantai perineum.1,2,4
Gambar 2. (illustrated courtesy Dr.L. Casey. Redrawn from friedman.1978)
Perjalanan persalinan dibagi secara fungsional atas dasar evolusi dilatasi yang diharapkan dan kurva-kurva penurunan janin 1; bagian persiapan,yang mencakup fase laten dan fase akselerasi,2; bagian dilatasional, yang meliputi fase kelandaian dilatasi maksimum, dan 3; bagian pelvis, yang mancakup fase deselerasi dan stadium kedua yang bersamaan dengan fase kelandaian maksimum turunnya kepala. 1,2,4
Rata-rata lamanya kala satu 8 –12 jam untuk nullipara dan 6-8 jam untuk multipara.1 Pada fase aktif kala I dilatasi servik 1,2 cm / jam pada primipara dan 1,5 cm / jam pada multipara.4,11 kemajuan dilatasi servik 1 cm/jam pada fase aktif persalinan sering dipakai sebagai batas untuk menentukan suatu persalinan normal atau abnormal. Namun validitasnya hanya didasarkan pengalaman. Karena beberapa persalinan normal didapat kemajuan yang lebih lambat.12 Diagnosa distosia dipertimbangkan bila kemajuan pembukaan servik kurang dari 0,5 cm / jam dalam periode 4 jam.12,13 Friedman (1972) menyatakan kemajuan dilatasi servik yang lambat didefinisikan bila pada primipara dilatasi servik kurang dari 1.2 cm/jam atau penurunan kurang dari 1 cm,sedang pada multipara kurang dari 1,5 cm/jam dan penurunan kurang dari 2 cm/jam.Didefinisikan sebagai distosia bila pada dalam 2 jam pemantauan tidak didapat perubahan pada dilatasi servik atau pada 1 jam pemantauan tidak didapat penurunan bagian janin.7
KALA II PERSALINAN DENGAN PRESENTASI OKSIPUT
Janin dengan presentasi oksiput, ditemukan hampir sekitar 95% dari seluruh kehamilan. Presentasi janin paling umum dipastikan dengan palpasi abdomen dan kadang kala diperkuat sebelum atau pada saat awal persalinan dengan pemeriksaan vagina. Pada banyak kasus vertex memasuki pelvis dengan sutura sagitalis pada diameter transversa pelvis.40% persalinan left occiput transverse (LOT) dan 20% posisi right occiput transverse (ROT).Posisi occiput anterior (LOA dan ROA) kepala dapat memasuki pelvis dengan berputar 45 derajat ke anterior dari posisi melintang. Pada 20% persalinan janin memasuki pelvis dengan posisi occiput posterior. Dari bukti penelitian radiologik hal ini dikaitkan dengan panggul depan yang sempit. 8
Karena bentuk dinding panggul yang tidak teratur dan dimensi kepala janin matur yang relatif besar,jelas bahwa tidak semua diameter kepala janin dapat memasuki dasar panggul. Yang terjadi adalah memerlukan suatu proses adaptasi atau akomodasi bagian-bagian kepala yang bersangkutan terhadap segmen panggul untuk menyelesaikan persalinan. Perubahan posisi pada presentasi ini merupakan mekanisme persalinan. Gerakan cardinal pada persalinan adalah Engagement, penurunan, fleksi, rotasi interna, ekstensi, rotasi eksterna, dan ekspulsi. ( gambar 3 ).1,2,8
Mekanisme yang dipakai diameter biparietal, diameter melintang terbesar kepala janin dalam presentasi occiput melewati pintu atas panggul disebut sebagai engagement. Kepala janin biasanya memasuki pintu atas panggul dalam posisi diameter lintang atau salah satu dari diameter oblik Pada multipara atau beberapa nullipara fenomena ini dapat terjadi pada minggu-minggu terakhir kehamilan.
Penurunan
Pada nulipara hal ini dapat terjadi sebelum onset persalinan dan penurunan selanjutnya tidak terjadi sampai mulanya kala II persalinan. Penurunan terjadi disebabkan satu atau lebih dari empat kekuatan, yaitu ;
1. Tekanan cairan amnion
2. Tekanan langsung fundus pada bokong dengan kontraksi
3. Tekanan langsung otot-otot abdomen
4. Ekstensi dan pelurusan badan janin.8
Feinstein dkk,2001 menyatakan dalam hasil penelitiannya berdasarkan univariat analisis, Faktor yang menghambat penurunan kepala yaitu nuliparitas, epidural analgesia, hidramnion, Hipertensi, DMG, Bayi lebih radi 4 kg, Ketuban pecah dini, persalianan yang di induksi. Didapat cara persalinan pada distosia kala II ini dengan sesarea 20,6 %, ekstraksi vakum 74 % dan forcep 5,4 %.23
Fleksi
Segera setelah penurunan kepala menemukan tahanan pada dasar panggul, dinding panggul dan cerviks, fleksi kepala terjadi. Dimana diameter subocciput bregmatika menggantikan diameter occipitofrontalis yang lebih besar.
Rotasi interna
Pemutaran kepala yang menggerakan oksiput dari posisi asalnya ke anterior menuju simfisis pubis, atau kurang sering ke posterior menuju sacrum, selalu dihubunkan dengan turunnya bagian presentasi dan biasanya tidak terjadi sampai kepla mencapai spina (engaged). Calkin (1979) penelitian pada 5000 persalinan menentukan kapan terjadi rotasi interna.disimpulkan bahwa 2/3 rotasi interna lengkap pada saat kepala mencapai dasar panggul. ¼ nya terjadi segera setelah kepala mencapai dasar panggul. 5% tidak terjadi rotasi ke anterior. Rotasi sebelum mencapai dasar panggul lebih sering terjadi pada multipara dari pada nullipara.
Ekstensi
Setelah rotasi interna, kepala yang fleksi penuh mencapai vulva, kepala menekan lorong panggul,ada dua kekuatan yang bekerja, berasal dari uterus bekerja lebih posterior dan tahanan lantai panggul yang bekerja anterior.
Gaya
resultantenya mengarah ke muara vulva. terjadi ekstensi, yang membawa dasar oksiput menempel pada margo inferior simpfisis. Karena pintu keluar vulva mengarah keatas dan kedepan, ekstensi harus terjadi sebelum kepala dapat melewatinya.
Rotasi Eksterna
Kepala yang sudah lahir selanjutnya mengalami restitusi, bila oksiput awalnya mengarah ke kiri maka berotasi kearah tuberusitas ischium kiri. Begitu pula sebaliknya. Diikuti dengan lengkapnya rotasi luar keposisi lintang. Suatu gerakan yang sesuai dengan rotasi badan janin, yang bekerja membawa diameter biakromial berhimpit dengan anteroposterior pintu bawah panggul.
Ekspulsi
Segera setelah rotasi eksterna bahu depan terlihat di bawah simfisis dan perineum menjadi teregang olah bahu belakang, setelah lahirnya kedua bahu tersebut sisa badan lainya didorong keluar
KALA III PERSALINAN.
Otot miometrium berkontraksi mengikuti berkurangnya ukuran rongga uterus secara tiba – tiba setelah lahirnya bayi. Penyusutan rongga uterus ini menyebabkan berkurangnya ukuran tempat implantasi plasenta. Karena tempat implantasi menjadi sangat kecil, plasenta terlepas.4
MANAGEMEN PERSALINAN
Beberapa hal penting yang harus dinilai segera saat seorang wanita memasuki fase persalinan yaitu :
· Onset serta frekuansi,durasi, relaksasi dan intensitas kontraksi uterus, riwayat perdarahan, dan gerakan janin.
· Riwayat Alergi, penggunaan obat-obatan, waktu dan jumlah intake oral terakhir.
· Maternal vital sign, data laboratorium; Hb, golongan darah, protein urin dan glukosa
· Bunyi jantung janin, dan perkiraan berat janin
· Status membran, pembukaan dan penipisan serviks serta penurunan kepala.
Pada initial assessment ini harus ditentukan normalnya kehamilan.Kesimpulan hasil pemeriksaan dan data selama antenatal di gunakan untuk membuat rencana yang rasional untuk memonitor persalinan. Untuk mendapat hasil akhir kehamilan yang baik ditetapkan program yang dirinci dengan baik memberikan surveilans yang teliti tentang kesejahteraan ibu maupun janin. Semua observasi harus dicatat dengan baik Frekuensi, intensitas, lamanya kontraksi uterus, serta respon denyut jantung janin terhadap kontraksi tersebut harus diperhatikan benar. 3,11,14
Denyut jantung janin.1,9,10,13,14,15
Jika memungkinkan auskultasi denyut jantung janin diperiksa selama kontraksi dan selama 60 detik setelah kontraksi untuk melihat respon janin terhadap kontraksi.Pengukuran denyut jantung janin selama 30 – 60 detik diantara his untuk mengidentifikasi frekuensi dasar. Tanpa mempertimbangkan metoda yang digunakan dalam pengukuran denyut jantung janin standar interval evaluasi yang digunakan menurut ACOG guidelines (1997),AWHONN (1997) san SOGC (1995) yaitu :
Kala persalinan Risiko rendah Risiko tinggi
PK I laten 30 –60 menit 30 menit
PK I aktif 30 menit 15 menit
PK II 15 menit 5 menit
Auskultasi denyut jantung janin harus dilakukan sebelum melakukan tindakan ; pemberian obat anastetik dan analgesik, oxytocics dan setiap kali perubahan dosisnya, pecah ketuban, kontraksi uterus yang kuat,pemeriksaan dalam atau pun kateterisasi urin.
Gawat janin atau hilangnya kesejahteraan janin, diduga apabila denyut jantung janin segera setelah kontraksi dengan pengulangan didapat 110 dpm.Gawat janin sangat mungkin terjadi bila didapat bunyi jantung janin kurang dari 110 dpm walaupun dengan perbaikan menjadi 110 sampai 160 dpm sebelum kontraksi berikutnya.10
Gambaran bunyi jantung janin yang normal bila di dapat; frekuensi dasar 120 –160 dpm,akselerasi tanpa ada deselerasi dan variabilitas antara 5 - 25 dpm.11,15
Kontraksi uterus
Kontraksi uterus harus dievaluasi harus dimonitor intensitas, frekuensi, dan durasinya.Kontraksi yang adekuat bila kontraksi tersebut secara teratur menghasilkan penipisan dan pembukaan serviks bersamaan dengan penurunan kepala. Satuan pengukuran kontraksi uterus yaitu
Montevideo
unit, rata-rata kekuatan (amplitudo) kontraksi dalam millimeter merkuri dikalikan dengan frekuensi kontraksi dalam 10 menit.200 – 250
montevideo
unit ditentukan sebagai persalinan yang adekuat.9,14
Pengukuran tanda vital
Pengukuran suhu, nadi dan tekanan darah dinilai sekurangnya tiap 2 - 4 jam, lebih sering bila ada indikasi, bergantung pada kondisi pasien. Pada pasien dengan ketuban pecah jika temperatur meningkat maka suhu diukur tiap 1 jam.9,14
Pemeriksaan dalam
Pada kala satu persalinan keperluan pemeriksaan dalam selanjutnya untuk mengetahui status serviks dan dilatasi serta posisi bagian presentasi. Bila selaput ketuban sudah pecah, pemeriksaan hendaknya diulang segera kalau kepala tidak pasti engaged pada pemeriksaan vagina sebelumnya. Di Parkland Hospital Pemeriksaan vagina sering dilakukan dengan interval 2-3 jam untuk mengevaluasi persalinan.9,14 Pemeriksaan vagina yang berulang dan sering dapat menginduksi terjadinya infeksi terutama pada kala I persalinan.19 Depkes merekomendasikan periksa dalam pada keadaan normal cukup dilakukan empat jam dan selalu dilakukan secara asepsis.30 Frekuensi periksa dalam harus dibatasi sesedikit mungkin (WHO,1996) Periska dalam yang dilakukan lebih sering dari 4 jam sekali tidak bermanfaat, kecuali bila ada indikasi :
· Ketuban pecah dini dengan letak bagian bawah janin masih tinggi untuk menyingkirkan kemungkinan prolaps tali pusat.
· Untuk memantau kemajuan persalinan dan mencatat pembukaan serviks pada partograf
Alasan untuk melakukan pemeriksaan dalam setiap 4 jam didasari pada penggunaan partograf dan garis waspada. Biasanya terdapat waktu sekitar 4 jam antara garis waspada dan garis tindakan. Bila pemeriksaan dalam dilakukan kurang dari 4 jam, mungkin masih diperlukan pemeriksaan lagi sebelum mencapai garis tindakan.31
Penggunaan oksitosin
Penggunaan oksitosin sebagai modalitas dalam managemen aktif persalian tanpa amniotomi dapat mengurangi lama persalinan hanya didapat pada satu penelitian dari empat penelitian yang ada. Didapat tidak adanya perbedaan insidensi seksio sesarea dan persalianan pervaginam dengan alat dan tidak mempengaruhi kondisi janin.19
Asupan oral dan cairan intravena.
Pada dasarnya pada semua keadaan, makanan dan cairan tidak diberikan oral pada saat memasuki persalinan aktif. Waktu pengosongnan lambung memanjang saat proses persalinan berlangsung dan pada pemberian analgesia. Sebagai akibat makanan dan kebanyakan obat yang dimakan tetap ada dilambung dan tidak diabsopsi, tetapi dapat dimuntahkan dan terjadi aspirasi. Namun penelitian Guyton dan Gibbs (1994) Insidensi aspirasi tidak didapat pada pemberian cairan oral 150 ml dua jam sebelum pembedahan.9
Pada beberapa pusat kesehatan sering dilakukan restriksi caitan untuk menghindari aspirasi atau antisipasi bila anastesi umum dibutuhkan.Pemberian cairan intravena rutin pada awal persalinan tidak jelas diperlukan.Sedang pemberian infus intravena dengan oxytocics menguntungkan selama masa nifas untuk profilaksis. Dan perberian glukosa,elektrolit dan cairan baik bagi wanita yang berpuasa dengan kecepatan 60 – 120 ml perjam, untuk menghindari dehidrasi dan asidosis.9
Randomized controlled trial 2000,didapat pemberian intravena pada nullipara menurunkan insidensi persalinan lama dan mengurangi kemungkinan kebutuhan pemberian oksitosin serta hidrasi yang kurang dapat menjadi factor yang menyebabkan gangguan pada proses persalinan. Hal ini dikarenakan cairan yang adekuat dapat menunjang perfusi yang optimal bagi uterus dan tidak hanya oksigenasi fetal adekuat tetapi juga menunjang kebutuhan nutrien bagi persalinan dan mengurangi sisa – sisa metabolisme.16, 20 Namun menurut Neilson.JP,1998 rutin pemberian cairan intravena tidak selalu dibutuhkan bila wanita hamil dapat minum dengan baik.20
Sedangkan efek untuk mengurangi atau mencegah makan dan minum sering mengakibatkan perlunya pemberian glukosa intravena, yang telah dibuktikan dapat berakibat negatif terhadap janin dan selanjutnya bayi baru lahir. Efek tersebut disebabkan oleh peningkatan insulin sebagai respons dari peningkatan kadar glukosa dan bisa mengakibatkan hipoglikemi pada janin, atau lebih sering terjadi hipoglikemi pada neonatal. 31
Dukungan psikis
Berdasarkan meta-analisis dari 11 RCT didapat; Dukungan psikis dapat mengurangi lamanya persalianan menghindari depresi pasca persalinan, mengurangi penggunaan analgesia, persalinan yang lebih singkat, mengurangi persalianan secara operatif dan persalianan dengan menggunakan alat.13, 17, 29 Banyak penelitian yang mendukung kehadiran orang ke kedua saat persalinan berlangsung. Penelitian itu menunjukan bahwa ibu merasakan kehadiran orang kedua tersebut sebagai pendamping pertolongan persalinan / bidan, akan memberi kenyamanan pada saat bersalin.30
Pencukuran daerah pubis
Menurut Nelson 1998, dalam evidence-based intrapartum care dinyatakan bahwa pencukuran daerah pubis tidak mengurangi infeksi, bahkan mungkin meningkatkan risiko penularan HIV dan Hepatitis pada bayi.17, 20
Fungsi kandung kemih
Distensi kandung kemih harus dihindarkan, karena dapat menimbulkan persalinan macet dan selanjutnya hipotonia dan infeksi kandung kemih.Selalu dilakukan pemeriksaan abdomen daerah suprasimfisis untuk mendeteksi pengisian kandung kemih. Bila kandung kemih mengembang dan tidak dapat berkemih kateterisasi diindikasikan.9 Minta ibu hamil agar sering buang air kecil sedikitnya setiap 2 jam. Catat pada partograf jumlah pengeluaran urine setiap kali ibu b.a.k dan catat protein atau aseton yang ada dalam urine. 30
Posisi dan gerakan ibu dalam persalinan
Diketahui bahwa posisi terlentang saat persalinan dapat mengakibatkan berkurangnya aliran darah dari ibu ke janin. Pada saat persalinan sebenarnya telah terjadi pengurangan aliran darah plasenta akibat aktifitas otot rahimpada saat kontraksi. Bila janin telah mengalami kurangnya aliran darah plasenta, seperti pada gangguan pertumbuhan janin dalam rahim, maka dengan adanya gangguan aliran darah plasenta yang diakibatkan posisi ibu (terlentang), maka hal ini dapat membahayakan janin.31
Posisi bersalin dalam persalinan dapat mempengaruhi lamanya proses berlangsung, ibu yang lebih banyak bergerak dan dibiarkan memilih posisi yang mereka pilih sendiri mengalami nproses persalian yang lebih singkat, dan rasa nyeri yang berkurang. Oleh karena itu ibu bersalin hendaknya diberi kebabasan memilih posisi yang dirasakan paling nyaman kecuali ada kontraindikasi lain. (WHO 1996). 31
Dalam suatu review sistematis dari 17 Randomised control Trial untuk mengevaluasi efek posisi ibu dalam persalinan, menyimpulkan bahwa " Ibu bersalin yang mengambil posisi tegak dilaporkan mengalami lebih sedikit rasa tidak nyaman dan nyeri, mengalami kala II yang lebih singkat (tanpa bantuan oksitosin), lebih mudah meneran dan memiliki peluang lebih besar untuk persalinan spontan dengan robekan perineal dan vaginal yang leboh sedikit. Komite ahli yang mengkaji persalinan normal untuk WHO menyimpukan hal yang sama.
Amniotomi
Manfaat yang diperkirakan adalah persalinan bertambah cepat, deteksi dini pewarnaan mekonium pada cairam amnion.bila amniotomi dilakukan hendaknya dilakukan teknik asepsis dan kepala harus tetap di panggul untuk menghindari prolaps tali pusat.9
Pada dua multisenter di Canada dan The United Kingdom pada lebih dari 2000 partisipan didapat bahwa amniotomi dapat mengurangi lamanya persalinan, namun tidak menunjukan perbedaan efek terhadap ibu dan janin.19
Partograf.3,17
Alat Bantu yang digunakan untuk observasi dan menilai kemajuan persalian dengan menilai pembukaan melalui pemeriksaan dalam, serta mendeteksi apakah proses persalianan berjalan secara normal.3
Pencatatan dalam partograf yaitu :
a. Fase aktif ; pembukaan serviks dari 4 sampai 10 cm
b. Kontraksi uterus dan Denyut jantung janin setiap 30 menit
c. Pembukaan serviks setiep 4 jam
d. Nadi setiap 30 menit
e. Tekanan darah dan temperatur setiap 4 jam
f. Produksi urin, aseton dan protein setiap 2 sampai 4 jam
Informasi yang didapat melalui partograf yaitu :
a. Informasi kondisi tentang ibu; Nama, umur, gravida, para, abortus tanggal mulai persalinan, waktu ketuban pecah
b. Kondisi janin : DJJ,warna dan adanya air ketuban, molase
c. Kemajuan persalinan : pembukaan serviks, penurunan bagian terbawah janin atau presentasi, garis waspada dan garis bertindak.
d. Jam dan waktu : mulainya fase aktif dan waktu actual saat pemeriksaan
e. Kondisi ibu : Nadi, tekanan darah, temperatur, dan urin obat – obatan dan cairan yang diberikan
Garis waspada : dimulai saat pembukaan servika 4 cm dan dan berakhir pada titik dimana pembukaan lengkap diharapkan terjadi bila pembukaan 1 cm per jam.
Garis bertindak : tertera sejajar dengan garis waspada, dipisahkan oleh 8 kotak atau 4 jalur ke sisi kanan. Jika pembukaan serviks berada disebelah kanan garis bertindak, maka tindakan untuk menyelesaikan persalinan harus dilakukan
Penelitian WHO di multicentre Asia tenggara yang bermaksud mengevaluasi penggunaan partograf dalam managemen dan hasil persalinan, bahwa dengan menggunakan partograf dapat mengurangi augmentasi dengan oksitosin hingga 54%, mengurangi lama proses persalinan yaitu persalinan yang lebih dari 18 jam serta mengurangi postpartum sepsis hingga 59%.18
KALA II
Kala II persalinan dimulai saat pembukaan serviks mencapai maksimum diakhiri dengan lahirnya janin. Pembukaan cerviks yang lengkap, ibu ingin mengejan dan turunya presentasi kepala menandai kala II persalinan dengan kontraksi uterus berlangsung selama 1 ½ menit dan fase istirahat miometrium tidak lebih dari satu menit.9
Pada kala II persalinan bantu ibu mengambil posisi yang paling nyaman baginya, Riset menunjukan bahwa posisi duduk atau jongkok memberikan banyak keuntungan. Pada kala II anjurkan ibu untuk meneran hanya jika merasa ingin meneran atau saat kepala bayi sudah kelihatan di introitus vagina "crowning" dan pada penelitian tidak direkomendasikan untuk meneran sambil menahan nafas karena terbukti berbahaya. Hindari juga peregangan pada vagina secara manual dengan gerakan menyapu atau menariknya ke arah luar.30
Penelitian menyatakan bahwa tidak ada keuntungan untuk meminta ibu bersalin menarik nafas dalam, menahan nafas dan meneran saaat kontraksi. Praktek untuk menahan nafas dan memaksa upaya ekspulsi terkendali untuk membantu persalinan dikenal sebagai manuver valsava. Pada umumnya praktek ini menyebabkan ibu meneran sambil menghembuskan nafas kuat – kuat dengan glotis tertutup. Dari penelitian didapat tidak ada perbedaan lamanya waktu persalinan bila dibandingkan dengan ibu bersalin yang meneran spontan dan tidak menahan nafas. (thompson, 1995, Knauth dan haloburdo, 1986 ). 31
Kala II memakan waktu kurang dari 30 menit dan Berkaitan dengan mortalitas dan morbiditas janin tenaga kesehatan harus berhati-hati bila lebih dari satu jam.1 tetapi dapat sangat berbeda-beda pada nulipara dapat 50 menit dan 20 menit pada multipara.1 Dalam literature lain dinyatakan, Satu jam pada multipara dan dua jam pada nulipara.23 Rata – rata lamanya kala II persalianan menurut ACOG yaitu 30 menit pada multipara dan satu jam pada primipara.11 Dari beberapa hasil penelitian tidak bermasalah berapa lamanya kala II persalinan sehingga lamanya kala II ini tidak dapat menjadi pertimbangan dalam melakukan intervensi selama kondisi ibu dan janin baik lamanya kala II ini dapat berlanjut hingga lebih dari satu jam.20
Pada seorang wanita dengan paritas lebih tinggi dengan perineum teregang dengan beberapa kali daya dorong mungkin dapat menyelesaikan persalinan. Sebaliknya, pada seorang wanita dengan panggul sempit atau janin besar, atau ada gangguan daya dorong kala II dapat menjadi abnormal lama.9
Lamanya kala II ini berkaitan dengan APGAR score yang lebih rendah pada menit pertama setelah kelahiran namun tidak berbeda pada manit ke
lima
dan sepuluh. Perbedaan nilai APGAR signifikan pada kala II lebih dari 4 jam, Sedangkan asidosis pada bayi tidak berhubungan dengan lamanya kala II.21 Sedangkan menurut feinstein dkk 2001, Kala II lama berkaitan dengan penurunan APGAR score pada menit pertama dan kelima tetapi tidak signifikan dengan peningkatan mortalitas perinatal.23 Kala II yang memanjang berkaitan dengan kerusakan muscular dan neuromuscular dasar panggul, incontinensia alvi, incontinensia urin, dan meningkatnya risiko perdarahan post partum.11,15 Berdasarkan univariat analisis risiko tersebut timbul pada kala II lebih dari dua jam, dengan perdarahan rata-rata 500cc dan penurunan hemoglobin 1,8 g/dl serta meningkatkan risiko terjadinya atonia uteri.17, 21
Episiotomi untuk mempercepat kala II tidak rutin dilakukan karena tidak mencegah terjadinya kerusakan m.sfingter ani justru menambah risiko terjadinya kerusakan tersebut,dari data yang didapat khususnya episiotomi mediana harus dihindari pada kala II memanjang karena dapat menambah kerusakan dasar panggul yang berat.21
Sebuah RCT di Canada menyatakan bahwa menghindari melakuakan episiotomi mengurangi trauma perineum dan episiotomi meningkatkan resiko inkontinensia fecal pada tiga dan enam bulan postpartum. Episiotomi mediana tidak efektif dalam perlindungan daerah perineum selama persalianan. Pada nuliparitas masase perineum beberapa minggu sebelum persalianan dapat mencegah trauma perineum. Dan tidak ada bukti yang menunjang dilakukan masase perineum pada kala II pesalinan. Ekstraksi Vakum dan persalianan spontan dapat mengurangi trauma sfingter ani di bandingkan dengan ekstraksi forsep. 24,25, 30
Dorongan pada fundus selama persalinan dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan uterus dan abdomen.serta dorongan yang terus menerus dapat menyebabkan penurunan oksigenisasi bagi bayi dan tidak mengurangi lamanya kala II persalinan.30
Melambatnya denyut jantung janin yang diinduksi kompresi kepala sering terjadi pada waktu kompresi dan upaya ibu untuk mendorong. Bila pemulihan denyut jantung cepat setelah kontraksi dan setelah upaya ekspulsi tersebut maka pesalinan dapat dilanjutkan. Tetapi tidak semua pelambatan denyut jantung janin tersebut didsebabkan oleh kompresi kepala. Daya yang kuat yang timbul didalam uterus waktu kontraksi dan daya mengejan ibu dapat menurunkan perfusi plasenta yang cukup besar. Turunnya janin melalui jalan lahir dan berkurangnya volume uterus sebagai akibatnya dapat mencetuskan derajat pelepasan plasenta prematur, sehingga kesejahteraan janin terancam. Turunnya janin lebih mungkin mengencangkan lilitan tali pusat disekeliling janin terutama dileher
sehingga dapat menyumbat aliran darah umbilical. Mengejan yang berkepanjangan dan tidak henti-hentinya dapat membahayakan janin. Takikardi ibu, yang sering terjadi pada kala II jangan disalah artikan sebagai bunyi jantung janin yang normal.9
Dua puluh RCT (Randomized Controlled Trial ) membandingkan monitoring bunyi jantung janin secara elektronik dan auskultasi, dilaporkan peningkatan section sesarea dan persalinan operatif pervaginam. Adanya monitoring secara elaktronik ini tidak menambah keuntungan bagi bayi.Pada salah satu penelitiannya didapat penurunan angka kejadian kejang pada neonatus dan fetal asidosis dengan menggunakan continous monitoring electronic namun tidak ada perbedaan hasil setelah satu tahun pemantauan perkembangan bayi.22
Kelahiran kepala dengan perasat Ritgen, pada waktu kepala meregangkan perineum dan vulva kontraksi cukup untuk membuka introitus vagina sekitar 5 cm, perlu memasang duk dengan satu tangan untuk melindungi introitus dari anus dan kemudian menekan ke depan pada dagu janin melalui perineum tepat didepan koksigis, sementara tangan lainnya memberi tekanan diatas pada oksiput.9
Setelah kepala dilahirkan, untuk mengurangi kemungkinan aspirasi debris cairan amnion dan darah yang mungkin terjadi setelah dada lahir dan bayi dapat menarik nafas, wajah cepat-cepat diusap dan nares serta mulut bayi diaspirasi.9
Selanjutnya jari hendaknya menuju leher untuk memastikan apakah ada lilitan tali pusat. Lilitan terjadi pada sekitar 25 % persen kasus, bila terdapat lilitan hendaknya ditarik diantara jari-jari dan kalau cukup longgar dilepaskan dari kepala bayi. Bila lilitan mencekik erat dileher sehingga susah dilepaskan dari kepala, hendaknya dipotong diantara dua klem dan bayi cepat dilahirkan.9,15
Setelah lahir bayi ditempatkan setinggi introitus vagina atau dibawahnya selama tiga menit dan sirkulasi fetoplasenta tidak segera disumbat dengan klem, kira – kira 80 ml darah dapat berpindah dari plasenta ke janin. Satu keuntungan dari transfusi plasenta tersebut bahwa hemoglobin dari 80 ml darah plasenta memberikan 50 mg besi sebagai simpanan bayi untuk menghindari anemia defisiensi besi pada masa bayi.9,14
Lavase atau manual eksplorasi pada uterus setelah bayi lahir tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan trauma servik dan uterus serta dapat menimbulkan infeksi.20
Kala III
Segera setelah bayi lahir tinggi fundus dan konsistensi dipastikan, sepanjang uterus tetap kencang dan tidak terdapat perdarahan yang luar biasa pelepasan plasenta di tunggu hingga ada tanda –tanda pelepasan plasenta. Dilakukan managemen aktif kala III untuk menghasilkan kontraksi uterus yang lebih efektif sehingga mengurangi kehilangan darah.26, 27, 28 Namun sebelumnya harus dilakukan pemeriksaan fundus uteri untuk memastikan tidak ada kehamilan ganda.30 Tunggu uterus berkontraksi, lakukan peregangan tali pusat terus menerus sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati – hati ke arah punggung ibu dan kearah atas (dorso kranial). Ulangi langkah ini setiap kali ada his.berhati – hati, jangan menarik tali pusat berlebihan atau mendorong fundus karena akan menyebabkan inversio uteri.30
Managemen aktif kala III yaitu :
· Pemberian uterotonik profilaksis
· Melakukan peregangan tali pusat terkendali
· Masase fundus uteri
Bila plasenta belum lepas setelah melakukan penatalaksanaan aktif perslinan kala III dalam waktu 15 menit, ulangi pemberian oksitosin 10 unit IM, periksa kandung kemih, lakukan kateterisasi bila penuh, kala III dilakukan terus hingga 15 menit berikutnya.30 Setelah lahirnya plasenta harus diperiksa kelengkapannya dan masase uterus dilakukan untuk merangsang kontraksi uterus serta periksa perineum dari perdarahan aktif. Pada prinsipnya pencegahan perdarahan post partum yaitu dengan meningkatkan kontraksi uterus dan mempercepat kala II persalinan ini.26,30
Tatalaksana kala III persalinan berbeda pada setiap center kesehatan, seperti di Eropa masih menggunakan "expectant management" yaitu menunggu terlepasnya plasenta dan membiarkan plasenta terlepas spontan. "Cochrane systematic review" menganalisa lima RCT ( Rendomized Controlled Trials ) untuk membandingkan akspectant management dan managemen aktif didapat bahwa " managemen aktif berkaitan dengan menurunnya risiko perdarahan postpartum lebih dari 500cc, menghindari kala III yang memanjang dan komplikasi serius lainnya, tetapi juga dikaitkan dengan efek samping penggunaan uterotonik ",.20, 26, 27, 28
Penggunaan syntrometrin intamuskular sebagai uterotonik profolaksis rutin pada kala III mengurangi risiko perdarahan postpartum dibandingkan dengan oksitosin intramuskular.Namun risiko terjadinya perdarahan postpartum yang berat pada penggunaan oksitosin intramuskular tidak meningkat.26
Beberapa penelitian klinis menyarankan penggunaan misoprostol 400-600 mikrogram oral sama efektifnya dengan penggunaan oksitosin dan sintimetrin dan pada penelitian lain menemukan sama efektifnya dengan oksitosin namun berhubungan dengan peningkatan suhu dan mengigil.27 Sedangkan pada Penelitian multisenter RCT dari WHO didapat, Pada penggunaaan misoprostol (prostaglandin E1) untuk mencegah perdarahan postpartum secara oral maupun rectal kurang efektif dibandingkan injeksi oksitosin.Hal ini berkaitan dengan lamanya mencapai kadar puncak dalam plasma setelah pemberian oral maupun rectal sehingga tidak direkomendasikan digunakan secara rutin pada kala III.,20, 26, 27
Kala IV
Observasi pada satu jam pertama setelah persalinan tiap 15 menit dan 30 menit pada jam kedua. Perhatikan tekanan darah ,nadi kontraksi uterus serta perdarahan. Harus diperhatikan bila ada nyeri perineum yang berat berkaitan dengan terbentuknya hematoma. Serta distensi kandung kemih dapat mengakibatkan terganggunya kontraksi uterus.1,3,9
Daftar Pustaka
1. Benson & Pernolls.handbook of Obstetric and gynecologic,Tenth ed. Mc GrawHill.North
USA
. 2001.
2. Gabbe SG. Et all:Obstetric and Normal and problem pregnancies; Labor and Delivery. 4th Churchill Livingstone
Philadelphia
. 2002.pg 353-389.
3. "Asuhan Persalinan Normal".Jaringan Pelayanan Klinik Reproduksi.JHPIEGO (MNH). Departeman Kesehatan. Jakarta 2002.
4. Cunningham F.G. et al; Obstetrics : parturition,21 thed. Int ed. Mc Graw Hill.USA. 2001. pg 256-290.
5. Abou Zahr C, Wardlaw T: Maternal mortality at the end of a decade signs of progress. Bulletin WHO.2001.79 :561-568.
6. Majalah Obstetri dan ginekologi
Indonesia
; Rencana strategi nasional making pregnancy safer ( MRS) di Indonesia 2001- 2010. Jakarta 2001;26;3-17
7. Cunningham F.G. et al; Obstetrics : Dystocia; Abnormal labor and Fetopelvic Disproportion,21 thed. Int ed. Mc Graw Hill.USA. 2001. pg 425-447
8. Cunningham F.G. et al; Obstetrics : Mechanisms of Normal Labor,21 thed. Int ed. Mc Graw Hill.USA. 2001. pg 291-307
9. Cunningham F.G. et al; Obstetrics :Conduct of Normal Labor and Delivery,21 thed. Int ed. Mc Graw Hill.USA. 2001. pg 309-329
10. Tucker.SM: Fetal Monitoring and Assesment: Assesment and management of fetal status.4ed..Mosby. London.2000.pg;24-25.
11. Chan PD. Johnson.SM : Current Clinical Strateggies gynecology and Obstetrics, New ACOG treatment guideline : Normal Labor,
Laguna Hills
. California.2004.
12. Enkin.M. et al. A guide to effective care in pregnancy and childbirth; Monitoring the progress of labor.3rd ed. Oxford, UK; Oxford University press,2000;281-287.
13. The Society of Obstetricians and Gynaecologist of
Canada
: Advance in Labor and Risk Management. Alarm course syllabus. 9 th ed.2002.
14. Gardner K. Problem in labor, delivery, and the postpartum period; Emergency delivery,preterm labor, and postpartum hemorrhage;2002;pg 311-324.
15. Decherney A.H.Nathan.L: Current Obstetric & Gynecologic,Diagnosis & Treatment ; The Course & Conduct of Normal Labor & Delivery.9 th ed.International edition. Mc Graw Hill.2003.pg;213-233.
16. Garite. T.J.et al. A randomized controlled trial of the effect increased intravenous hydration on the course of labor in nulliparous women. Am J Obstet Gynecol 2000; 183;1544-8.
17. Saifuddin A.B. Buku acuan praktis pelayanan kesehatan maternal dan neonatal ; Persalinan normal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1st Jakarta.2002;
18. WHO Safe Maternal Health and Safe Motherhood Programme: World Health Organization partograph in managemant of labor. Lancet. 1994. vol 343. pg 1399 –1404.
19. Thornton JG and Lilford RJ; Active management of labor : Current knowledge and research issues. Br Med J. 1994;309;366-369
20. Neilson JP: Evidence-based intrapartum care: Evidence from the Cochrane Library. Int J Gynecol Obstet.1998;63;S97-S102.
21. Janni W.et al; The prognostic impact of prolonged second stage of labor on maternal and fetal outcome. Acta Obstetric et Gynecol Scandinavia.2001;81;214-221.
22. Righard L; Making childbirth a normal process.Birth.Blackwell Science,Inc. 2001;28
23. Feinstein U. et al: Risk factor for arrest of descent during the second stage of labor. Int J Gynecol & Obstet.2002;77;7-14.
24. Eason et al: Preventing perineal trauma during childbirth: A systematic review. Obstetrics & Gynecology. 2000;95; 464-471.
25. Signorello.LB. et al: Midline episiotomy and anal incontinence : Restrospective cohort study; BMJ 2000;320;86-90.
26. Chong YS.et al; Current strategies for the prevention of postpartum haemorrhage in the third stage of labour.Curr Opin Obstet Gynecol 2004; 16; 143-150.
27. Maternal and Mortality health special issue ; Preventing postpartum hemorrhage; managing the third stage of albor. Out look.2001;19;1-8
28. Scuurmans N et al. Prevention and management of postpartum haemorrhage. SOGC Clinical practice guidelines J .2000;88;1-10.
29.
Madi
BC
et al
; Effect of female relative support in labor ; A randomized control trial . Birth 1999;26;4-10.
30. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
: Buku satu : Standar Pelayanan Kebidanan,
Jakarta
, 2001
31. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia
: Buku satu : Catatan Tentang Perkembangan dalam Praktek Kebidanan,
Jakarta
, 2001
04.07
|
|
This entry was posted on 04.07
You can follow any responses to this entry through
the RSS 2.0 feed.
You can leave a response,
or trackback from your own site.
0 komentar:
Posting Komentar