KEPUTIHAN DALAM KEHAMILAN
Keputihan dalam kehamilan sering dianggap sebagai hal yang biasa terjadi dan sering luput dari perhatian ibu maupun petugas kesehatan yang melakukan pemeriksaan kehamilan. Meskipun tidak semua keputihan disebabkan karena infeksi, beberapa keputihan dalam kehamilan yang dapat berbahaya karena dapat menyebabkan persalinan kurang bulan (prematuritas), ketuban pecah sebelum waktunya atau bayi lahir dengan berat badan rendah (<2500 gram).
Beratnya gejala keputihan tidak selalu sejalan dengan hasil persalinan. Sebagian wanita hamil tidak mengeluhkan keputihannya karena tidak merasa terganggu padahal keputihannya dapat membahayakan kehamilannya; sementara wanita hamil lain mengeluhkan gejala gatal yang sangat, cairan berbau namun tidak berbahaya bagi hasil persalinannya.
Dari bermacam keputihan yang dapat terjadi pada kehamilan, maka tiga besar yang sering didapatkan adalah :
1. Kandidosis vaginal (Vulvovaginal kandidosis)\
2. Vaginosis bakterial
3. Trikomoniasis.
I. KANDIDOSIS VULVOVAGINAL
(Vulvovaginal Candidiasis , VVC, kandidosis, candidal vaginitis, monilial infection atau vaginal yeast infection )
Penyebab utama
Pada umumnya adalah Candida albicans suatu mikroorganisme komensal dari ekosistem vagina dan terdapat dalam populasi kecil pada sekitar sepertiga vagina wanita sehat (Plourd,1997). Kandidiasis vulvovaginal dapat terjadi karena pertumbuhan berlebih sel-sel jamur yang secara normalpun terdapat dalam vagina wanita sehat. Kehamilan merupakan salah satu penyebabnya, selain itu sering juga terjadi pada pemakai kontrasepsi oral atau pemakaian antibiotika berlebihan, menstruasi, diabetes mellitus , penyakit-penyakit yang menurunkan daya kekebalan tubuh, kebiasaan irigasi vagina, cairan pewangi / pembersih vagina (vaginal cosmetics, perfumed feminine sprays), antimikrobial yang topikal , vaginal jelly, atau pemakaian celana dalam yang ketat dengan ventilasi yang kurang (Odds,1988).
Gejala klinis:
Gejala yang khas adalah adanya cairan vagina yang kental, seperti keju lembek ( spread cheese, cottage-cheese like appearance ) atau susu basi (curdled) yang dapat disertai oleh rasa gatal, iritasi atau rasa panas pada vulva. Vagina tidak mempunyai reseptor gatal, sehingga rasa gatal baru akan terjadi bila duh vaginal sudah mengiritasi vulva. Duh vaginal tidak selalu ada, atau bisa juga sangat sedikit, putih, encer dan tidak berbau. Bila terjadi infeksi sekunder maka duh vaginal bisa berwarna kekuningan atau kehijauan; juga dapat berbau.Vulva bengkak, sering terlihat ekskoriasi atau kemerahan (erythematous) Rasa nyeri berkemih atau disparenia dapat ada. Pria pasangannya jarang mempunyai gejala, bila ada, dapat berupa rasa gatal atau panas setelah hubungan seksual yang biasanya hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan.
Akibat terhadap kehamilan :
Meskipun keadaan ini sering menjengkelkan karena gejalanya tidak menyenangkan dan sering terjadi perkambuhan namun ternyata tidak menyebabkan hasil persalinan yang buruk. Kejadian prematuritas, ketuban pecah sebelum waktunya dan bayi berat lahir rendah tidak bertambah pada keadaan ini(Plourd,1997).
Diagnosis :
Kadang-kadang pasien tidak dapat mengutarakan anamnesis secara jelas karena malu atau hal lainnya. Dalam keadaan seperti ini pemeriksaan klinis harus lebih cermat dilakukan. Bagaimanapun diagnosis tidak mungkin ditegakkan hanya dari anamnesis. Karakteristik duh vaginal dapat dipakai sebagai pedoman dalam menegakkan diagnosis klinik, dalam keadaan duh vaginal tidak karakteristik, secara klinis dapat terjadi kesulitan untuk menegakkan diagnosis; pemeriksaan tambahan sederhana lainnya dapat membantu penegakan diagnosis klinis yakni dengan memeriksa pH sekret vagina, Uji amin dan Uji H2O2.
Bila gejala-gejala klinis diatas jelas , diagnosis klinis dapat ditegakkan, namun kepastian diagnosis harus dengan pemeriksaan mikroskopis terhadap sekresi vagina. Dengan penambahan KOH, dibawah mikroskop akan ditemukan hifa (hyphae) atau “budding yeast” pada 50%-70% kasus. C.albicans mudah diidentifikasi , mereka mempunyai hifa yang panjang dengan blastospora sepanyang hifa dan “cluster” pada ujungnya menggambarkan “snowman” Bila tidak ada komplikasi pH vagina biasanya normal (3,8 – 4,2) . Sebagian pasien dapat mengeluh kandidiasis rekuren; keluhan ini harus diperhatikan dan petugas kesehatan harus mencari faktor-faktor predisposisi yang mendasarinya atau mengevaluasi keadaan higiene vulva dan hal-hal yang berhubungan dengannya seperti cara membersihkan, kebiasaan berpakaian , dsb. Penilaian terhadap adanya infeksi sekunder (adanya vaginitis lainnya) juga harus dilakukan mengingat pengobatannya tidak sama.
Pengobatan :(Sobel,1990; Plourd,1997; Depkes, 1999)
Pengobatan antifungal topikal
Pengobatan topikal efisien dan dapat ditolerir oleh sebagian besar pasien. Demikian juga pada wanita hamil, terutama pada trimester pertamapengobatan topikal sangat dianjurkan.Terapi oral sebaiknya hanya digunakan pada kasus berat atau rekuren dalam usia kehamilan lebih dari 13 minggu. Pemakaian preparat topikal didasari dengan rumus umum pengobatan bahwa kelainan topikal dapat diobati dengan terapi topikal.
Berbagai preparat topikal untuk VVC tersedia dalam bentuk krim, tablet vagina, losion atau supositoria.
1. Klotrimazol 500 mg tablet vagina, dosis tunggal intravaginal sebelum tidur. Mikonazol atau kotrimazol 200 mg tablet vagina, intravaginal tiga hari berturut- turut, sebelum tidur.
2. Nistatin 100.000 unit tablet vagina,Intravaginal sekali sehari selama 2 minggu
Pengobatan antifungal sistemik
Pengobatan VVC secara sistemik sebaiknya dikhususkan pada mereka yang telah mendapat terapi topikal sebelumnya dan tidak berhasil, atau pada kasus-kasus khusus seperti VVC yang berat, atau rekuren pada trimester kedua kehamilan. Perlu untuk mengevaluasi adanya PMS disamping VVC; karena VVC yang rekuren sering berhubungan dengan adanya PMS lain yang tentu saja lain terapinya
1. Ketokonazol 200 mg peroral,2 kali sehari untuk 5 hari
2. Itrakonazol 200 mg per oral,2 kali sehari , hanya satu hari
3. Flukonazol 150 mg per-oral dosis tunggal
4. Flukonazol 150 mg / minggu untuk 12 minggu pada kasus rekuren
Pemakaian obat-obatan ini dalam kehamilan trimester ke dua tidak menunjukkan adanya hasil persalinan yang buruk.
II. TRIKOMONIASIS
Penyebabnya adalah Trichomonas vaginalis suatu protozoa yang mempunyai flagel, pada manusia biasanya terdapat di urethra (pria dan wanita) atau pada vagina terutama pada wanita pascamenopause. Ditransmisikan pada umumnya melalui hubungan seksual (CDC,1993).
Kejadiannya sekitar 25% dari seluruh vaginitis dan bila didiagnosis pada wanita yang tidak mengeluhkan gejala, kejadiannya dapat mencapai 50% (McLellan,1982). Keadaan kehamilan tidak menyebabkan penyakit ini bertambah insidensinya.
Gejala Klinis:
Gejala klinisnya bervariasi tergantung beratnya penyakit; bila gejala klinis ada, maka tampilannya berupa iritasi, gatal, rasa panas atau nyeri yang dapat terasa di daerah vulva,perineum dan paha; dapat disertai dispareni dan disuri. Dapat juga terjadi perdarahan bercak setelah koitus akibat kontak langsung dengan serviks yang meradang. Karakteristik duh vaginalnya berbuih; bisa berwarna putih keabuan atau berwarna kuning kotor kehijauan dan berbuih serta berbau busuk. Tergantung beratnya penyakit, vulva , vagina dan serviks dapat bengkak dan meradang kemerahan. Pemeriksaan apus serviks dengan lidi kapas sering menyebabkan perdarahan serviks.( McLelan,1982)
Akibat terhadap kehamilan:
Trikomoniasis berhubungan dengan kejadian prematuritas dan bayi berat lahir rendah.
Diagnosis:
1. Duh vaginal berbuih berbau busuk (pada 35% kasus)
2. PH vagina > 4,5 (pada 70% kasus)
3. Serviks dengan punctate microhaemorrhage (“strawberry appearance”) (25%)
4. Trichomonas vaginalis yang bergerak pada preparat basah ( 50-75%)
Pengobatan:
1. 2 gram metronidazol dosis tunggal,untuk mereka yang tidak dapat mentolerir dosis yang besar ini , dapat diberikan:
2. metronidazol 500 mg bid selama 7 hari
Pasangan seksualnya juga harus diberi terapi. Beberapa peneliti menganjurkan dosis tinggi (2gram) selama beberapa hari (CDC,1993) . Rejimen ini dapat disertai oleh metronidazol supositori vaginal (500 mg) 2 kali sehari. Terapi topikal dengan vaginal supositori saja hanya efektif 50%. Meskipun secara klasik dalam kehamilan ,metronidazol tidak diberikan pada trimester pertama, namun pemberian dosis tunggal 2 gram terbukti aman Saat ini pemberian metronidazol pada trimester kedua dan ketiga kehamilan tidak dipersoalkan lagi.
III. VAGINOSIS BAKTERIALIS
Vaginosis bakterialis merupakan penyebab flour albus yang umum ditemukan pada wanita usia subur (Bouchard dkk, 1997). Di USA keadaan ini merupakan sekitar 50% penyebab vaginitis pada seluruh populasi wanita dan merupakan 10%-30% penyebab vaginitis pada wanita hamil (Majeroni 1998). Sebelum tahun 1955, penyakit ini dikenal dengan nama nonspecific vaginitis, Haemophilus vaginitis, Gardnerella vaginitis, Corynebacterium vaginitis , nonspecific vaginosis atau anaerobic vaginosis (Hill GB,1993). Ekosistem vagina normal sangat kompleks, flora bakterial yang predominan adalah laktobasili (95%) ,disamping itu terdapat pula sejumlah kecil (5%) variasi yang luas dari bakteri erobik maupun anerobik. Ekosistem vagina yang normal mengandung 105 sampai 106 /gr dari sekresi vagina; sedangkan pada vaginosis bakterialis terjadi peningkatan sangat besar yaitu mencapai 109 – 1011/gram sekresi.
Vaginosis bakterialis diketahui kemudian sebagai infeksi superfisial pada vagina yang menyertai keadaan menghilangnya laktobasili yang normal dan disertai oleh pertumbuhan berlebihan dari mikroorganisme lain dalam konsentrasi yang tinggi. Anggota utama mikroorganisme tersebut adalah Gardnerella vaginalis, bakteri batang anerob gram negatif yang termasuk dalam genera Prevotella, Porphyromonas dan Bacteroides, Peptostreptococcus sp, Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum dan seringkali Mobiluncus sp.Bakteri anerob inilah yang memproduksi ensim-ensim yang menimbulkan bau amis tajam pada keadaan vaginosis bakterialis, (Thomason 1991). Gardnerella vaginalis-nya sendiri tidak selalu ditemukan pada sindroma ini, bahkan dapat ditemukan pada 16-42% wanita yang tidak mempunyai gejala vaginitis.
Sampai saat ini penyebab pergeseran ekosistem vaginal ini belum jelas. Pemasangan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) merupakan risiko untuk terjadinya vaginosis bakterialis (Avont, 1990) sedangkan Barbone dkk(1991) menghubungkan peningkatan kejadian ini dengan jumlah partner sex dalam satu bulan terakhir. Peneliti lainnya menghubungan dengan alat kontrasepsi yang bukan metoda barier; hal ini diduga karena cairan semen akan merubah keasaman vagina yang akan memacu ketidakseimbangan flora vagina. Vaginosis bakterialis jarang didapatkan pada anak wanita prepubertas atau wanita pascamenopause; sedangkan pada sebagian wanita dapat terjadi secara siklis. Hal ini menunjukkan hubungan antara keadaan ini dengan siklus hormonal.
Diagnosis:
Diagnosis vaginosis bakterialis ditegakkan bila 3 kriteria terpenuhi dari 5 kriteria dibawah ini (Majeroni,1998):
• Cairan vagina yang homogen (jumlah dan warnanya dapat bervariasi)
• PH vagina > 4.5
• Uji Amin (+)
• Terdapat “clue cell” > 20% pada preparat basah atau pewarnaan Gram
• Tidak adanya / berkurangnya laktobasil pada pewarnaan Gram.
Implikasi klinis dan morbiditas:
Secara klinis vaginosis bakterialis dapat ditemukan dengan adanya cairan vagina yang berlebihan, biasanya homogen dan berbau amis. Jumlah dan warna cairan vagina bervariasi namun biasanya homogen dan encer .Seringnya cairan ini menjadi sangat berlebihan setelah koitus. Sekitar 50% dari penderita vaginosis bakterialis ini sering tidak mengeluhkan gejalanya padahal secara klinis memenuhi kriteria vaginosis bakterialis .(Bouchard ,1997)
Pada wanita hamil meskipun frekuensi vaginosis bakterialis cukup tinggi, 16%-24%(Hill 1988, Hillier 1992) namun sebagian besar menganggap adanya cairan vagina berlebih sebagai hal yang normal. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya peningkatan risiko terjadinya persalinan kurang bulan, kontraksi prematur atau kelahiran dengan BBLR.. Vaginosis bakterialis juga berhubungan dengan keberadaan fetal fibronectin yang terbukti meningkatkan kejadian korioamnionitis dan neonatal sepsis.. Wanita hamil yang menderita vaginosis bakterialis dua kali lebih sering terkena infeksi gonore dan klamidia dibandingkan dengan wanita hamil yang mempunyai laktobasili predominan sebagai flora vaginanya (Hillier,1992) . Penelitian pada pekerja seks di Thailand menunjukkan bahwa wanita dengan vaginosis bakterialis lebih banyak yang menderita HIV (Cohen,1995).
Morbiditas lain akibat vaginosis adalah:
1. Postpartum endometritis
2. Selulitis tumpul vagina pasca histerektomi
3. Peradangan Panggul pasca kuretasi
4. Plasma sel endometritis
Pengobatan:(Thomason,1991;Sweet,1993;Prietsley,1996;Bouchard,1997; Majeroni,1998)
Pengobatan Topikal:
Clindamycin (krim vagina) 5 gram waktu tidur, selama 7 hari
Metronidazol gel 5 gram bid waktu tidur selama 7 hari.
Pengobatan Oral :
Metronidazol 500 mg bid selama 7 hari atau 2 gram dosis tunggal
Clindamycin 300 mg bid selama 7 hari
Pencegahan infeksi :
Pencegahan vaginitis atau vaginosis yakni :
1. Jangan memakai celana dalam dari bahan sintetis atau celana ketat
2. Pakailah selalu celana katun
3. Jangan memakai panty-liner setiap hari
4. Sesudah mandi keringkan daerah vulva dengan baik sebelum berpakaian (bisa memakai hairdryer )
5. Cebok dari depan ke belakang setiap berkemih/b.a.b dapat membantu mengurangi kontaminasi mikroorganisme dari rektum
6. Kurangi mengkonsumsi gula-gula, alkohol, coklat atau kafein dalam diet sehari-hari
Jangan terbiasa melakukan irigasi vagina, memakai tampon, pewangi/spray vagina atau tissue/ sanitary napkins berparfum
Uji Amin (KOH whiff test) :
Pemberian setetes KOH 10% pada sekret vagina diatas gelas objek akan menghasilkan bau amis yang karakteristik ( fishy / musty odor )
Uji H2O2 :
Pemberian setetes H2O2 (hidrogen peroksida) pada sekret vagina diatas gelas objek akan segera membentuk gelembung busa ( foaming bubbles) karena adanya sel darah putih yang karakteristik untuk trikomoniasis atau pada vaginitis deskuamatif, sedangkan pada vaginosis bakterialis atau kandidiasis vulvovaginal tidak bereaksi
Prof Dr. dr Sofie R. Krisnadi, SpOG(K).
Daftar Pustaka :
• Avonts D, Sercu M, Heyetick P, et al. : Incidence of uncomplicated genital infections in women using oral contraception or an intrauterine device : a prospective study. Sex trans Dis. 1990;17:23-9.
• Barbone F, Austin H, Louv WC, et al.: A follow-up study of methods of contraception, sexual activity, and rates of trichomoniasis, candidiasis, and bacterial vaginosis. Am J Obstet Gynecol. 1990 ; 163:510-4.
• Bouchard C, Hetwood MS, Lea RH et al.: Bacterial vaginosis, SOGC clinical practice guidelines. Committee opinion no. 14, March 1997.
• Cohen CR, Durerr A, Pruithithada N. et al.: Bacterial vaginosis and HIV seroprevalence among female commercial sex workers in Chiang Mai, Thailand.
• AIDS. 1995;9:1093-7. (CDC) Centers for Disease Control and Prevention: Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines . Washington,DC, US Department of Health and Human Services ,1993.Christos,RH: Vaginitis testing without microscopy. Clinician Reviews 8 (4):133, 1998.
• Departemen Kesehatan RI: Penanggulangan Penyakit Menular Seksual melalui pelayanan KIA. Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat - Direktorat Kesehatan Keluarga, Jakarta 1999.
• Hill GB: Microbiology of Bacterial Vaginosis, Am J Obstet Gynecol 1993; 169: 450-454.
• Hill LVH, Luither ER, Young D, et al. Prevalence of lower genital tract infections in pregnancy. Sex Transm Dis. 1988;15:5-10
• illier SL, Krohn MA, Nugent RP et al. : Characteristics of three vaginal flora patterns assessed by Gram stain among pregnant women. Am J Obstet Gynecol. 1992;166:938-944.
• Joesoef MR, Hillier SL, Josodiurondo S & Linnan M: Reproducibility of a scoring system for Gram stain diagnosis of bacterial vaginosis. J Clin Microbiol 1991: 29; 1730-1731.
• Larsson PG, Plattz-ChristensenJJ, Sundstrom E: Is Bacterial Vaginosis a sexually transmitted disease? Int J STD AIDS. 1991;2:362-4.
• Majeroni BA. Bacterial Vaginosis: an update. Am Fam Phys 1998: March 15.
• Nugent RP, Krohn MA & Hillier SL: Reliability of diagnosing bacterial vaginosis is improved by a standardized method of Gram stain interpretation. J Clin Microbiol 1991: 29 ; 297-301.
• Maclvor D : Avoiding the pitfalls of diagnosing vaginitis . Clin Adv Treat Infect 5 : 4-5,14, 1991.
• McLellan R, Spence MR, Brockman M : The clinical diagnosis of trichomoniasis. Obstet Gynecol 60: 30-34,1982. OBGYN.net Publications: Three-Day treatment option for bacterial vaginosis in non-pregnant women gets FDA approval. March 4, 1998.
• Odds FC : Iatrogenic factors that predispose to candidosis, in Candida and Candidosis, ed2. London , Balliere Tindall,1988, pp104-14.
• Plourd,MD: Practical guide to diagnosing and treating vaginitis. Medscape Women’s Health 2 (2), 1997.
• Prietsley, Cecilia JF, Kinghorn GR: “Bacterial Vaginosis”. Brit J of Clin Pract. Sept
1996:50; 6:331-4
• Sobel JD: Vaginitis in addult women. Ob Gyn Clin North Am 17 : 851-879,1990.
• Soper,DE : Genitourinary infections and sexually transmitted diseases. In Novak’s Gynaecology . Ed.s Berek JS, Adashi EY, Hillard PA. 12 th Ed. 1996 Williams & Wilkins, pp 432-4.
• Sweet, Richard L: New Approached for the treatment of bacterial vaginosis .Am J . Obstet Gynecol 1993 : 169; 479-82.
• Tobin MJ. Vulvovaginal candidiasis : Topical vs Oral therapy .American Family Physician. May 15,1995.
• Thomason JL,Gelbart SM, and Scaglione NJ. Bacterial vaginosis: current review with indications for asymptomatic therapy. Am J Obstet Gynecol 1991; 165: 1210-16.
03.59
|
|
This entry was posted on 03.59
You can follow any responses to this entry through
the RSS 2.0 feed.
You can leave a response,
or trackback from your own site.
1 komentar:
Mb jika terkena BV saat hamil 9 bulan baiknya melakukan oersalinan normal atau sc
Posting Komentar